27/07/2024

Kartini, Literasi dan Pendidikan

0
PENULIS Irmayanti

Samarinda, AspirasiNews.id – Hari Kartini, 21 April, menjadi sangat menarik bagi banyak kalangan, tak hanya perempuan. Kartini memang fenomenal, salah satu pengukir sejarah peradaban Indonesia meski atas takdir sang pencipta meninggalkan dunia dalam usia relatif muda. Kini 118 tahun berlalu sejak tahun 1904 wafatnya, Kartini selalu dikenang seperti bagian bait lagu yang diciptakan WR Supratman, “Ibu Kita Kartini, Putri sejati, Putri Indonesia, harum namanya…”


Tentu peringatan hari Kartini oleh generasi penerus bangsa sebagai rutinitas harus lebih berkualitas. Bukan sekedar lomba fashion kebaya cantik bagi ibu-ibu muda atau pawai meriah anak-anak TK berkebaya tanpa mereka tahu maknanya. Bahkan seorang teman guru pernah bercerita, seorang siswanya pernah bertanya saat mereka harus berkebaya di hari Kartini, “Bu, apakah ibu Kartini seorang pahlawan perancang model kebaya Indonesia ?”


Jika kebanyakan orang membicarakan tentang perjuangan Kartini dalam emansipasi, saya lebih melihat Kartini sebagai tokoh pejuang pendidikan dan literasi . Saat kartini memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih baik dibanding banyak perempuan saat itu, ia tampil sebagai sosok berpendidikan yang menuangkan ilmu dan pemikirannya dalam tulisan. Surat-suratnya pada berbagai tokoh peradaban barat menjadi saksi. Mereka adalah Mr. Abendanon, Nyonya Abendanon, Annie Glesser, Stella, Ir. H. Van Kol dan Nyonya Van Kol.
Pada masa itu, Kartini memang pernah terpengaruh oleh pemikiran Barat dengan mengganggap peradaban barat tinggi. Salah satu kutipan isi surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899 berbunyi “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; Orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa.”
Namun semangat belajar dan kemampuan literasi yang tinggi mengantarkannya pada pengajian Kyai Sholeh Darat, seorang ulama besar dari Darat, Semarang. Surat-surat yang ditulis Kartini sebelum wafat, banyak mengulang kata “Door Duisternis Tot Licht” yang sekarang kita kenal dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Menurut Asma Karimah (2006) dalam buku Tragedi Kartini sebuah pertarungan Ideologi, Kyai Sholeh Darat berkontribusi memberikan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jawa kepada Kartini.
Dari “gelap” ditafsirkan Kartini sebagai masa lalunya yang belum memahami secara integral tentang agama Islam. Menuju “cahaya” diartikan sebagai masa pencerahan dan penemuan kembali jati diri keislamannya. Kata yang dibuat Kartini terinspirasi dari potongan ayat 257 pada Surat Al Baqarah. Kalimat “minadz-dzulumati ilannur” dalam ayat Al-Quran, menjadi landasan sebenarnya gerakan Kartini. Kata ini hakikatnya bermakna “Dari Gelap menuju Cahaya.”


Proses literasi ini mengubah pemikiran Kartini tentang peradaban barat. Katanya pada surat Kartini pada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902, dua tahun sebelum ia wafat“Sudah lewat masanya. Tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sendiri mulia?
Selain kekuatan literasi, pesan RA Kartini tentang urgensi pendidikan perempuan dalam perannya pada pendidikan keluarga sangat kuat.

Calon ibu dan ibu harus berpendidikan, terus belajar agar terampil dalam tugas pendidik generasi. Salah satu isi surat nya kepada prof.Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, yang dikutip dari Kumpulan tulisan “Habis gelap terbitlah Terang” Asma Karimah, (1994) adalah, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.“[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Literasi dan Pendidikan


Laporan PISA (Programme for International Student Assesment) 2018 berdasarkan sumber repositori.kemdikbud.go.id/ yang melakukan survei pada kemampuan membaca, matematika dan sains dengan membaca sebagai subyek utama, skor Indonesia rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara. Hasil survei ini menunjukkan skor Indonesia turun di semua bidang. Penurunan paling tajam pada bidang membaca. Ini masalah serius dalam sumber daya manusia Indonesia. Menurut Yunus (2019), Literasi adalah kemampuan mengkritisi, menganalisis dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber dalam berbagai ragam disiplin ilmu. Tentu diawali dengan kegemaran membaca dan semangat menuntut ilmu.


Ibu kartini telah menunjukkan bentuk perjuangan literasi untuk mendobrak tradisi dengan bukti kumpulan tulisan surat-suratnya dalam “Habis Gelap terbitlah Terang.” Karenanya segenap kaum perempuan yang telah berpendidikan tinggi harus terus berkarya dalam bidangnya masing-masing. Berjuang membangunkan kesadaran dan berbagi ilmu kepada segenap perempuan lainnya agar mampu menjadi pendidik generasi terbaik. sebagaimana pesan RA kartini “Pergilah.

Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi” (Suratnya kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).

Oleh Irmayanti
Guru MTsN Samarinda
Dewan Pembina JSIT Kaltim
No 08125503545

Tinggalkan Balasan